Setiap tahun, saat Idul Adha tiba, umat Islam di seluruh dunia menyambutnya dengan semangat dan keharuan. Salah satu amalan utama yang dilakukan adalah menyembelih hewan kurban tradisi yang tak hanya mengingatkan kita pada pengorbanan Nabi Ibrahim AS, tetapi juga mengasah kepedulian sosial dan ketulusan iman. Namun, apakah berkurban itu wajib? Bagaimana kedudukannya dalam hukum Islam?
Dalam Islam, hukum berkurban adalah sunnah muakad ibadah sunnah yang sangat dianjurkan. Artinya, kurban bukanlah kewajiban seperti shalat atau zakat, tetapi meninggalkannya bagi mereka yang mampu dianggap makruh (tidak disukai) oleh mayoritas ulama.
Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bersepakat bahwa berkurban adalah sunnah muakad. Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa kurban adalah wajib bagi Muslim yang mampu secara finansial dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Kata kuncinya adalah mampu. Jika seseorang memiliki kelonggaran rezeki pada hari-hari Idul Adha, maka sangat dianjurkan baginya untuk berkurban. Ini adalah bentuk ibadah yang tidak hanya menumbuhkan ketaatan kepada Allah, tetapi juga mempererat kepedulian kepada sesama.
Menghidupkan Sunnah, Menguatkan Hati
Meskipun tidak wajib, berkurban memiliki keutamaan luar biasa. Ia adalah ibadah yang menyentuh tiga aspek sekaligus: spiritualitas, sosial, dan keikhlasan. Dengan berkurban, seorang Muslim diajak untuk:
- Meneladani pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
- Menguatkan hubungan vertikal dengan Allah melalui ketaatan
- Menyambung kepedulian horizontal dengan sesama melalui pembagian daging
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada amalan anak Adam pada hari raya kurban yang lebih dicintai Allah daripada menyembelih hewan kurban…” (HR. Tirmidzi)
Bagi banyak orang, kurban mungkin sudah menjadi rutinitas tahunan. Tapi jika direnungkan lebih dalam, kurban adalah pendidikan hati. Ia melatih kita untuk merelakan harta yang kita cintai, demi kebaikan orang lain.
Dalam dunia yang kian individualistis, kurban mengajarkan bahwa keberlimpahan rezeki bukan hanya untuk dinikmati sendiri. Ada hak orang lain di dalamnya. Ketika seseorang rela menyisihkan sebagian hartanya untuk membeli hewan kurban, lalu menyerahkan hasilnya kepada yang membutuhkan, saat itulah ia sedang menanamkan benih empati dalam dirinya.
Tidak semua orang diberi kesempatan untuk berkurban. Maka ketika rezeki kita cukup dan kita termasuk orang yang mampu, berkurban menjadi salah satu cara terbaik untuk mensyukuri nikmat Allah.
“Sesungguhnya Kami telah memberimu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 1–2)
Ayat ini mengajarkan bahwa salah satu bentuk rasa syukur adalah dengan berbagi dan mendekatkan diri kepada Allah melalui kurban.
Jangan Tunda Kebaikan yang Dianjurkan
Kadang, karena merasa tidak wajib, seseorang menunda-nunda atau bahkan mengabaikan kurban. Padahal, dalam sunnah muakad ada keutamaan yang tidak bisa diremehkan. Jika ada kelapangan rezeki, mengapa tidak dimanfaatkan untuk menunaikan ibadah yang pahalanya terus mengalir?
Bahkan jika tidak mampu membeli hewan sendiri, sekarang banyak lembaga sosial seperti Yayasan Insan Anugrah Indonesia yang memfasilitasi kurban kolektif. Ini membuka peluang bagi siapa pun untuk tetap bisa berpartisipasi dalam ibadah ini sesuai kemampuan.
Berkurban bukan hanya tentang sapi dan kambing, tapi tentang hati yang ikhlas. Ia bukan sekadar menyembelih, tapi juga menyucikan diri dari cinta berlebih pada dunia.
Meskipun hanya sunnah, berkurban adalah ibadah yang meninggalkan jejak mendalam dalam kehidupan seorang Muslim. Ia adalah ladang pahala, jembatan sosial, dan sarana spiritual untuk lebih dekat kepada Allah.
Salurkan kurban terbaikmu melalui Yayasan Insan Anugrah Indonesia. Mari hidupkan sunnah, kuatkan hati, dan asah kepedulian lewat ibadah yang penuh makna.